PROPOSAL METODELOGI PENELITIAN FILSAFAT
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Setiap
manusia pasti mempunyai keinginan untuk dekat dan dicintai oleh Tuhannya yang
dalam Islam dikenal dengan istilah Mahabbah.
Namun, tidak semua orang mampu untuk mahabbah bukanlah merupakan hal yang mudah
dan hanya orang yang memiliki kekuatan cinta yang kuat terhadap Tuhannya.
Mahabbah merupakan rasa cinta yang mendalam terhadap tuhannya, dengan tujuan
untuk mencintai dan dicintai oleh Tuhan. Ketika manusia mendapat mahabbah, maka
dia akan mendapat rasa ketenangan dan cinta yang luar biasa dari Tuhannya.
Kita
selaku umat Islam harus berusaha mencapai mahabbah demi mendapat kehidupan yang
tenang dan damai serta cinta dari Sang Maha Cinta. Dalam pandangan ahli
tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan, sama
seperti tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam. Sebab itu, pada
dasarnya adalah anugrah bagi segala bentuk mendekatkan kepada Tuhan. Kaum sufi
menyebutkan mahabbah adalah mundurnya hati untuk memperhatikan keindahan atau
kecantikan.
Mahabbah
berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti
mencintai secara mendalam, atau kecintaan yang mendalam. Al-mahabbah dapat pula
diartikan Al-Wadud, yaitu yang sangat kasih atau penyayang, pengertian mahabbah adalah cinta yang luhur, suci
dan tanpa syarat kepada Allah.[1]
Tasawuf
adalah bagaiamana kaifiyah tazkiyatun-Nafs (cara menyucikan hati) agar dekat
dengan tuhan, mengikuti sunnah Rasullullah baik yang tersurat maupun yang
tersirat. Untuk mengetahui aspek ajaran Islam yang tersurat dan yang tersirat,
perlu mengetahui ilmunya. Ilmu yang menjelaskan makna esoteris ajaran agama Islam, juga bagaimana perjalanan ruhani
Rasulullah, dan bagaimana cara Rasulullah menyucikan ruhaninya, sebagai sufi
pertama.[2]
Dalam
ajaran tasawuf banyak cara para sufi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, salah
satunya adalah mahabbah (cinta).
Seseorang tidak disebut
“Mencintai” kalau masih meminta
sesuatu dari yang dicintai, namun orang-orang yang betul-betul mencintai ialah
orang yang mau berkorban untukmu, maka sesungguhnya orang yang mencintai ialah
orang yang memberimu, bukan orang-orang yang yang minta diberi pemberianmu.[3]
Mahabbah
adalaha cinta, dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan dalam artian
kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya atau mengosongkan hati
dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi yakni tuhan.[4]
Yang mana hal ini sesuai dengan firman Allah: yang artinya “Jika kamu cinta
pada Tuhan, maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu, Allah akan
mengampuni dosa-dosamu dan Allah maha Pengampun dan maha Penyayang.”[5]
(Q.S. Ali Imron:31)
Maksud
dari ayat tersebut ialah, kalian akan mendapatkan yang lebih dari kecintaan
kalian kepadanya, yaitu kecintaanya kepada kalian dan ini lebih besar dari pada
kecintaan kalian kepadanya. Seperti yang diungkapkan sebagian ulama ahli
hikmah:[6]
“yang
jadi permasalahan bukanlah jika engkau mencintai, tapi permasalahannya ialah
jika engkau dicintai.”Menurut beberapa pandangan ulama tentang mahabbah
diantaranya, al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkatan yaitu:
1.
Cinta biasa, yaitu selalu mengingat
Tuhan dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan
dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
2.
Cinta orang siddiq, yaitu orang yang
kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmun-Nya,dan
lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang
dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia- rahasia yang ada pada
Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog
itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak
dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada
Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
3.
Cinta orang „arif, yaitu orang yang
tahu betul pada Tuhan. Cinta seperti ini timbul karena telah tahu betul-betul
pada Tuhan.
Yangdilihat dan dirasa bukan lagi
cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk
kedalam diri yang mencintai.[7]
Al-Qusyayri
juga mendefinisikan cinta sebagai kecendurungan hati yang telah diracuni oleh
cinta, pilihan sang kekasih terhadap hamba-hamba, keharmonisan dengan sang
kekasih, penghapusan semua kualitas dari pecinta, penegakan esensi sang
kekasih, dan akhirnya terjalinlah hati sang pecinta itu dengan kehendak Ilahi.[8]
Di
dalam salah satu ungkapan-ungkapan Rabiah al-Adawiah tentang cinta ialah:“Aku
mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka. Bukan pula karena ingin
masuk surga. Tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya.”[9]
Sedangkan
pandangan Ibn Athaillah mahabbah adalah menaati Allah. Ia menguraikan: dua
rakaat di tengah malam adalah cinta, membaca al-Qur‟an adalah cinta, menjenguk
orang sakit adalah cinta, sedekah kepada orang-orang miskin adalah cinta.
Selanjutnya ia mengatakan: barang siapa yang mencurahkan seluruh cintanya
kepada Allah maka Allah akan memberi kepadanya minuman kemurahan. Aneh, kata
Ibnu Athaillah, masih ada orang yang mau bersahabat dengan nafsunya dan
mencintainya, padahal tidak datang kebaikan kecuali dari Allah. Barang siapa
yang ingin berjalan menuju Allah maka kuatkanlah tekad kepada-Nya.[10]
Sebagaimana
pedang tidak bisa berperang kecuali dengan pegangan yang kuat, begitu pula amal
saleh tidak akan pernah ada kecuali dari seorang mukmin yang ikhlas dalam
mengerjakan dan memenuhinya. Selanjutnya ia mengatakan: tidak ada ibadah
sebagai ungkapan rasa cintamu kepada Allah kecuali dhikir kepada Allah secara
tulus, karena dhikir dapat dilakukan oleh semua orang dalam situasi apapun,
sakit, sibuk, berdiri, duduk, berbaring, dan lainya. Sebagaimana firman Allah:
yang artinya “ Apabila kamu telah selesai melaksanakan salatmu, berdzikirlah
kepada Allah di waktu berdiri, duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian apabila
kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman”. (Q.S. An-Nisa‟:103)
Hati
manusia laksana cermin, dan perumpamaan nafsu adalah laksana hembusan nafas,
setiap kali hembusan nafas menimpa cermin itu dan tidak mengkilat. Hati orang
yang lemah, menurut ibn Athaillah, adalah seperti cermin yang buram yang engkau
biarkan dan tak pernah dibersihkan. Padahal engkau tak bisa bercermin kecuali
kalau permukaan cermin itu dibersihkan. Sementara hati orang „arif adalah
laksana pengantin perempuan yang cantik. Setiap hari engkau membersihkan dan
memperhatikannya sehingga ia mengkilap.[11]
Dalam
kehidupan sekarang yang sudah serba hidup modern dengan bergelimang dan
berfikiran material, sehingga sibuk dengan dunianya dan melupakan kewajiban dan
tertutupnya mata hati sehinga dosa menjalar ke hati hingga menggelapkannya.
Maka permasalahan dalam kehidupan dunia menyebabkan makin jauh mencintai kepada
Tuhan dan melupakan-Nya yang sebenarnya sebagai hamba haruslah mendekatkan diri
kepada-Nya. Maka menurut pandangan Ibn Athaillah untuk mengembalikan hati yang
sudah tertutupi dengan dosa haruslah melakukan empat hal diantanya:
1.
Banyak berdzikir dan membaca
al-Qur‟an.
2.
Diam tidak banyak berbicara.
3.
Khalwah untuk bermunajat kepada Raja Yang
Maha Mengetahui.
4.
Sedikit minum dan makan.
Maka berdasarkan penjelasan diatas
peneliti berusaha meneliti konsep Ibn Athaillah tentang mahabbah, sebagai
serana untuk mendekatkan kepada Tuhan
dengan konsep Ibn Athaillah tentang
mahabbah dengan memakai sudut pandang teori Max Scheler yakni teori Ordo Amoris
(pengaturan kecintaan).
B. Permasalahan
1. Identifikasi
masalah
Dari latar belakang
diatas maka penulis mengidentifikasi masalah tentang bagaimana “ Konsep
Mahabbah Prespektif Ibn’Atha’Illah” yang mana paling menitik beratkan tentang dari
sudut pandang tasawuf.
2. Pembatasan
Masalah
Sesungguhnya banyak
masalah yang dapat diangkat kepermukaan dalam penelitian ini, namun penulis
perlu membatasi masalah yang lebih terperinci dan jelas agar pemecahannya
terarah dan berhasil. Jadi tulisan ini hanya Sesuai
dengan uraian diatas, maka penulis, menetapkan pembatasan masalah pada: Konsep
Mahabbah Prespektif Ibn’Atha’Illah.
3. Rumusan
Masalah
Berangkat
dari latar belakang sebagaimana dijelaskan di atas, penulis membatasi rumusan
sebagai berikut:
1.
Bagaimana pengertian mahabbah dalam
pandangan ulama‟ tasawuf?
2.
Bagaimana konsep Ibn „Atha‟illah
tentang mahabbah?
4. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Mengetahui
bagaimana pengertian mahabbah dalam pandangan beberapa ulama‟ tasawuf.
2. Mengetahui
konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah.
5.
Manfaat
Penelitian
Hasil
penelitian ini semoga memberi sumbangsih baik dalam aspek keilmuan maupun dalam
aspek terapan praktis.
1. Aspek
keilmuan
a. Sebagai
sumbangsih pemikiran dan upanya memperkaya ilmu tasawuf dalam konsep mahabbah.
b. Semoga
apa yang jadi penelitian ini bermamfaat bagi kegiatan dalam rangka pengembangan
ilmu tasawuf bagi siapa saja yang membacanya dan bisa menjadikan sebuah rujukan
atau penelitian
Semoga
bermamfaat untuk melatih diri dalam melakukan penelitian dan memperluas wawasan
pengetahuan yang berhubungan dengan tasawuf.
2. Aspek
penerapan praktis
a. Ikut
serta membumingkan pemikiran ulama‟tasawuf tentang mahabbah.
b. Memberi
pengertian terhadap masyarakat awam tentang konsep Ibn „Atha‟illah tentang
mahabbah.
6.
Telaah ke
Pustakaanan
Sejauh
ini peneliti masih belum menemukan kajian tentang konsep Ibn Athaillah tentang
mahabbah. Adapun terkait dengan konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah
seperti, mahabbah Allah „Indah Tafsir Ibn
al-Qayyim, dalam skripsinya Siti Nur Azizah Jurusan Tafsir Hadis IAIN Sunan
Ampel Surabaya, (2012). Bagaimana pendapat Imam Ibn Qayyim tentang mahabbah
kepada Allah dan bagaimana tanda-tanda, susunan mahabbah kepada Allah dalam
pandangan Ibn Qayyim. Dalam penjelasan yang saya tangkap secara garis besar
tentang mahabbah di dalam skripsi tersebut bahwa mahabbah yaitu condongnya jiwa
kepada sesuatu yang dia condongi untuk kesempurnaan kemudian dia mengajak
mendekatkan kepadanya.
Konsep
mahabbah menurut al-Ghazali dalam kitab Ihya‟
„Ulum al din, dalam Tesis Abd Malik Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
Surabaya, (2012). Masalah yang diteliti dalam Tesis Abd Malik yaitu: pertama,
sebagai konsep mahabbah menurut para tokoh sufi dan kedua, bagaimana konsep
mahabbah Imam al-Ghazali. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa mahabbah
menurut Imam al-Ghazali adalah tujuan puncak dari seluruh maqam dan kedudukan
yang paling tinggi, karena setelah diraihnya mahabbah, tidak ada maqam lain
kecuali buah dari mahabbah itu seperti maqam Shauq (kerinduan)„Uns (kemesraan),
rida, dan lain-lain.
C . Metode Penelitian
Metode
penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Oleh karena itu, di dalam
penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari dokumen atau buku-buku yang membahas
tentang fokus tersebut. Sehingga penelitian ini juga dapat disebut dengan
penelitian pustaka (Library reseach)
1. Jenis Penelitian
a.
Objek material
Objek
material dalam penelitian ini adalah menuangkan pikiran Ibn „Atha‟illah tentang
konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah melalui data perpustakaan baik dalam
karya asli Ibn Athaillah atau pun melalui buku-buku yang masih ada kaitannya.
Disamping itu, penelitian ini juga menggunakan data yang berkaitan dengan tokoh
seperti biografi, aspek pemikirannya dalam dunia tasawuf, dan lebih penting
yaitu mengenai konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah.
b. Objek
formal
Objek formal dalam penelitian ini
adalah menggunakan konsep Max Scheler tentang “Ordo Amoris” (Pengaturan kecintaan). Artinya, memandang konsep
mahabbah Ibn „Atha‟illah melalui sudut pandang Max Scheler. Menurut pandangan
Max Scheler tentang kodrat manusia ada tiga suasana yaitu sebagai berikut:
2. Teknis Pengumpulan Data dan Analisis Data
a. Teknik
Pengumpulan Data
Pengumpulan
data dalam penetilian ini, peneliti akan menghimpun data-data yang meliputi,
munculnya konsep Ibn „Atha‟illah. Dalam hal ini dibutuhkan untuk menjelaskan
konsep Ibn Athaillah tentang mahabbah. Untuk penggalian lebih dalam mengenai
konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah baik pemikiran tokoh tasawuf terdahulu
dan pada zamannya serta pengaruhnya dan setelahnya. Disamping itu, latar
belakang hidup, pendidikan, dan konsep mahabbah yang dibangunnya untuk
melakukan mahabbah kepada Allah.
Selanjutnya,
data-data yang diperoleh di edit ulang, untuk melihat kelengkapannya dengan
melakukan pengurangan dan penambahan data yang diselingi dengan klasifikasi
untuk memperoleh sistematika pembahasan dan terdiskripsikan dengan rapi. Terkait
dengan penggalian data, penulis menggunakan teknik library. Adapun teknik library
di sini adalah pengumpulan atau pencarian data yang terdapat pada buku-buku
yang berkaitan dengan konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah.
a.
Teknik Analisis Data
Dalam
menganalisis data, peneliti menggunakan satu kerangka analisis mahabbah sebagai
bentuk mendekatkan kepada Tuhan. Maksudnya diperlukan kajian kritis terhadap
konsep Ibn Athaillah tentang mahabbah. Metode ini didukung dengan penggunaan
metode deskriptif-historis. Dengan proses pencarian data dan buku-buku yang
sudah ada yang menggunakan ketepatan interpretasi. Deskripsi ini
a.
Suasana indera: yang dimaksud
suasana ini seperti enak, pahit, dan sebagainya. Suasana ini mempunyai tempat
yang tertentu.
b.
Suasana vital: mempunyai dua cabang:
ialah kehidupan jasmani, seperti lelah, segar-bugar. Semua itu tidak terbatas
tempatnya, melainkan meliputi seluruh tubuh.
c.
Suasana rohani atau kejiwaan:
seperti jika orang mengatakan: aku sedih, aku bingung. Suasana ini tidak
membentang, tidak organis. Golongan yang ketiga ini menurut pandangan Max
Scheler adalah rasa atau perasaan rohani tadi, misalnya bahagia, damai. Disini
badan tidak tersangkut. Orang yang sedang menderita badannya, bisa juga
bahagia. Disini yang merasa: ialah persona.[12]
Dalam teori Max Scheler tersebut
bisa ditarik kesimpulan bahwa dengan menggunakan pada poin ketiga (suasana
rohani atau kejiwaan) berkaitan dengan konsep Ibn Athaillah tentang mahabbah
yakni kebersihan jiwa dalam mencapai maqam mahabbah.
3. Data dan Sumber Data
a. Data
Primer
Adapun
sumber data primer yaitu dari literatur-literatur utama dalam penelitian ini
yang membahas tentang mahabbah Ibn Athaillah dalam karya aslinya. Diantaranya:
1. Ibn
Athaillah, Terjemahan al-Hikam ”Kajian
Hikmah-Hikmah Ilmu, Iman & Amal
Tauhid, Toriqot & Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 2011), 269.
2. Ibn
Athaillah, Mengapa Harus Berserah,
Cet 1, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), 43.
3. Taj
al „Arus al Chawi Litahdzib al nufus (Penyucian Jiwa)
4. Lathaif
al Minan (Rahasia yang Maha Indah) b. b. Data sekunder
Adapun
sumber data skunder peneliti merujuk pada; buku-buku, majalah, situs internet
yang tentunya berkaitan dengan pokok penelitian dalam skripsi ini. Antara lain:
1. Harun
Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam
Islam,(jakarta:PT Bulan Bintang,
2010).
2. Cecep
Alba, Tasawuf dan Tarekat“Dimensi
Esoteris Ajaran
Islam, (bandung:PT Remaja Rosdakarya
Offset, 2012).
3.
Evolusi Jiwa Manusia menuju mahabbah dan ma‟rifat.
menjelaskan
suatu fakta sebagaimana adanya,[13]
dalam hal ini berupa konsep Ibn „Atha‟illah, sedangkan kajian historis
digunakan untuk mendapat keterangan yang mendalam tentang pengertian mahabbah
dalam pandangan ulama‟ tasawuf dan mengetahui konsep Ibn Athaillah yang sudah
ada. Kajian historis yang dimaksud di sini yaitu fokus pada kehidupan Ibn
„Atha‟illah dan latar belakangya adanya konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah
yang mempengaruhi pemikirannya.
D . Sistematika Pembahasan
Adapun isi pokok pembahasan dalam
penelitian ini disusun menjadi lima bab, yaitu:
·
BAB I, Pendahuluan, yang berisi
uraian yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, mamfaat penelitian,
kajian pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.
·
BAB II, Menjelaskan biografi Ibn
„Atha‟illah; meliputi riwayat hidup, latar belakang pemikiran, karya-karya Ibn
„Atha‟illah.
·
BAB III Dalam bab ini akan
menjelaskan tentang Konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah.
·
BAB IV Analisis konsep Ibn
„Atha‟illah tentang mahabbah dalam sudut pandang teori Max Scheler.
·
BAB V Penutup yang didalamnya berisi kesimpulan seluruh
penulisan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang disajikan dan
saran-saran.
[1] Jamil Shaliba, al-Mu‟jam al-Falsafy, jilid 11, (Mesir:
Dar al-Kitab, 1978), 439.
[2] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat“Dimensi Esoteris Ajaran Islam, (bandung:PT
Remaja Rosdakarya Offset, 2012), III.
[3] Ibn Athaillah, Terjemahan
al-Hikam ”Kajian Hikmah-Hikmah Ilmu, Iman & Amal Tauhid, Toriqot & Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 2011),
269.
[4]Harun
Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam
Islam,(jakarta:PT Bulan Bintang, 2010),55.
[5] Al-Qur‟an dan Terjemah, Q.S.Ali Imran, 3:31
[6] Ebook, Tafsir
ibnu Katsir jilid 2,(Jakarta:Pustaka Imam As-syafi‟i,2003), 53-54
[7] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme...,55.
[8] Margaret Smith, Rabi‟ah:
Pergulatan Spritual Perempuan, ( Surabaya, Risalah Gusti, 1997), 107
[9] Harun Nasution, Falsafa
dan Mistisisme...,56.
[10] Cecep Alba, Tasawuf
dan Tarekat...,60-61.
[11] Cecep Alba, Tasawuf
dan Tarekat.Hal 61
[12] Drijarkara, Percikan Filsafat, Cet 1, (Jakarta: PT Pembangunan Jakarta 1963), 145.
[13] Anton Bakker dan A. Charis Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat, (Jogjakarta: Kanisius, 1992), 88.