SELAMAT DATANG DI GUDANG ILMU

" Saat kebodohan menguasai kesadaran, maka kesadaran memiliki hak untuk berbuat hal paling bodoh"

HOT NEWS KLIK IBADAH

PERSEMBAHAN KAMI

Gudang Tutorial

KAMI MENYEDIAKAN BERBAGAI MACAM TUTORIAL YANG AKAN MEMBANTU ANDA MENDAPATKAN SEGUDANG PENGETAHUAN.

Read More

Gudang Inspirasi

Gudang Podcast dan Motivasi yang berfungsi sebagai pengarah untuk mewujudkan keinginan atau tujuan. Motivasi berfungsi sebagai penggerak bagi seseorang untuk melakukan sesuatu.

Read More

Gudang Opini

kami menyediakan segudang opini yang hangat, aktual, terpercaya dari sudut pandang kekinian

Read More

User Friendly

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Praesent feugiat tellus eget libero pretium, sollicitudin feugiat libero.

Read More

Recent Work

Tuesday, January 4, 2022

PROPOSAL METODELOGI PENELITIAN FILSAFAT

PROPOSAL METODELOGI PENELITIAN FILSAFAT

 

PROPOSAL METODELOGI PENELITIAN FILSAFAT

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Setiap manusia pasti mempunyai keinginan untuk dekat dan dicintai oleh Tuhannya yang dalam Islam dikenal dengan istilah Mahabbah. Namun, tidak semua orang mampu untuk mahabbah bukanlah merupakan hal yang mudah dan hanya orang yang memiliki kekuatan cinta yang kuat terhadap Tuhannya. Mahabbah merupakan rasa cinta yang mendalam terhadap tuhannya, dengan tujuan untuk mencintai dan dicintai oleh Tuhan. Ketika manusia mendapat mahabbah, maka dia akan mendapat rasa ketenangan dan cinta yang luar biasa dari Tuhannya.

Kita selaku umat Islam harus berusaha mencapai mahabbah demi mendapat kehidupan yang tenang dan damai serta cinta dari Sang Maha Cinta. Dalam pandangan ahli tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan, sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam. Sebab itu, pada dasarnya adalah anugrah bagi segala bentuk mendekatkan kepada Tuhan. Kaum sufi menyebutkan mahabbah adalah mundurnya hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan.

Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan yang mendalam. Al-mahabbah dapat pula diartikan Al-Wadud, yaitu yang sangat kasih atau penyayang, pengertian mahabbah adalah cinta yang luhur, suci dan tanpa syarat kepada Allah.[1]

Tasawuf adalah bagaiamana kaifiyah tazkiyatun-Nafs (cara menyucikan hati) agar dekat dengan tuhan, mengikuti sunnah Rasullullah baik yang tersurat maupun yang tersirat. Untuk mengetahui aspek ajaran Islam yang tersurat dan yang tersirat, perlu mengetahui ilmunya. Ilmu yang menjelaskan makna esoteris ajaran agama Islam, juga bagaimana perjalanan ruhani Rasulullah, dan bagaimana cara Rasulullah menyucikan ruhaninya, sebagai sufi pertama.[2]

Dalam ajaran tasawuf banyak cara para sufi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, salah satunya adalah mahabbah (cinta). Seseorang tidak disebut

“Mencintai” kalau masih meminta sesuatu dari yang dicintai, namun orang-orang yang betul-betul mencintai ialah orang yang mau berkorban untukmu, maka sesungguhnya orang yang mencintai ialah orang yang memberimu, bukan orang-orang yang yang minta diberi pemberianmu.[3]

Mahabbah adalaha cinta, dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan dalam artian kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya atau mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi yakni tuhan.[4] Yang mana hal ini sesuai dengan firman Allah: yang artinya “Jika kamu cinta pada Tuhan, maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu, Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan Allah maha Pengampun dan maha Penyayang.”[5] (Q.S. Ali Imron:31)

Maksud dari ayat tersebut ialah, kalian akan mendapatkan yang lebih dari kecintaan kalian kepadanya, yaitu kecintaanya kepada kalian dan ini lebih besar dari pada kecintaan kalian kepadanya. Seperti yang diungkapkan sebagian ulama ahli hikmah:[6]

“yang jadi permasalahan bukanlah jika engkau mencintai, tapi permasalahannya ialah jika engkau dicintai.”Menurut beberapa pandangan ulama tentang mahabbah diantaranya, al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkatan yaitu:

1.      Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.

2.      Cinta orang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmun-Nya,dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia- rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.

3.      Cinta orang „arif, yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta seperti ini timbul karena telah tahu betul-betul pada Tuhan.

Yangdilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.[7]

Al-Qusyayri juga mendefinisikan cinta sebagai kecendurungan hati yang telah diracuni oleh cinta, pilihan sang kekasih terhadap hamba-hamba, keharmonisan dengan sang kekasih, penghapusan semua kualitas dari pecinta, penegakan esensi sang kekasih, dan akhirnya terjalinlah hati sang pecinta itu dengan kehendak Ilahi.[8]

Di dalam salah satu ungkapan-ungkapan Rabiah al-Adawiah tentang cinta ialah:“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka. Bukan pula karena ingin masuk surga. Tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya.”[9]

Sedangkan pandangan Ibn Athaillah mahabbah adalah menaati Allah. Ia menguraikan: dua rakaat di tengah malam adalah cinta, membaca al-Qur‟an adalah cinta, menjenguk orang sakit adalah cinta, sedekah kepada orang-orang miskin adalah cinta. Selanjutnya ia mengatakan: barang siapa yang mencurahkan seluruh cintanya kepada Allah maka Allah akan memberi kepadanya minuman kemurahan. Aneh, kata Ibnu Athaillah, masih ada orang yang mau bersahabat dengan nafsunya dan mencintainya, padahal tidak datang kebaikan kecuali dari Allah. Barang siapa yang ingin berjalan menuju Allah maka kuatkanlah tekad kepada-Nya.[10]

Sebagaimana pedang tidak bisa berperang kecuali dengan pegangan yang kuat, begitu pula amal saleh tidak akan pernah ada kecuali dari seorang mukmin yang ikhlas dalam mengerjakan dan memenuhinya. Selanjutnya ia mengatakan: tidak ada ibadah sebagai ungkapan rasa cintamu kepada Allah kecuali dhikir kepada Allah secara tulus, karena dhikir dapat dilakukan oleh semua orang dalam situasi apapun, sakit, sibuk, berdiri, duduk, berbaring, dan lainya. Sebagaimana firman Allah: yang artinya “ Apabila kamu telah selesai melaksanakan salatmu, berdzikirlah kepada Allah di waktu berdiri, duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (Q.S. An-Nisa‟:103)

Hati manusia laksana cermin, dan perumpamaan nafsu adalah laksana hembusan nafas, setiap kali hembusan nafas menimpa cermin itu dan tidak mengkilat. Hati orang yang lemah, menurut ibn Athaillah, adalah seperti cermin yang buram yang engkau biarkan dan tak pernah dibersihkan. Padahal engkau tak bisa bercermin kecuali kalau permukaan cermin itu dibersihkan. Sementara hati orang „arif adalah laksana pengantin perempuan yang cantik. Setiap hari engkau membersihkan dan memperhatikannya sehingga ia mengkilap.[11]

Dalam kehidupan sekarang yang sudah serba hidup modern dengan bergelimang dan berfikiran material, sehingga sibuk dengan dunianya dan melupakan kewajiban dan tertutupnya mata hati sehinga dosa menjalar ke hati hingga menggelapkannya. Maka permasalahan dalam kehidupan dunia menyebabkan makin jauh mencintai kepada Tuhan dan melupakan-Nya yang sebenarnya sebagai hamba haruslah mendekatkan diri kepada-Nya. Maka menurut pandangan Ibn Athaillah untuk mengembalikan hati yang sudah tertutupi dengan dosa haruslah melakukan empat hal diantanya:

1.      Banyak berdzikir dan membaca al-Qur‟an.

2.      Diam tidak banyak berbicara.

3.      Khalwah untuk bermunajat kepada Raja Yang Maha Mengetahui.

4.      Sedikit minum dan makan.

Maka berdasarkan penjelasan diatas peneliti berusaha meneliti konsep Ibn Athaillah tentang mahabbah, sebagai serana untuk mendekatkan kepada Tuhan

dengan konsep Ibn Athaillah tentang mahabbah dengan memakai sudut pandang teori Max Scheler yakni teori Ordo Amoris (pengaturan kecintaan).

B.  Permasalahan

1.    Identifikasi masalah

Dari latar belakang diatas maka penulis mengidentifikasi masalah tentang  bagaimana “ Konsep Mahabbah Prespektif Ibn’Atha’Illah” yang mana paling menitik beratkan tentang dari sudut pandang tasawuf.

2.      Pembatasan Masalah

Sesungguhnya banyak masalah yang dapat diangkat kepermukaan dalam penelitian ini, namun penulis perlu membatasi masalah yang lebih terperinci dan jelas agar pemecahannya terarah dan berhasil. Jadi tulisan ini hanya Sesuai dengan uraian diatas, maka penulis, menetapkan pembatasan masalah pada: Konsep Mahabbah Prespektif Ibn’Atha’Illah.

3.    Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang sebagaimana dijelaskan di atas, penulis membatasi rumusan sebagai berikut:

1.   Bagaimana pengertian mahabbah dalam pandangan ulama‟ tasawuf?

2.   Bagaimana konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah?

4.    Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1.    Mengetahui bagaimana pengertian mahabbah dalam pandangan beberapa ulama‟ tasawuf.

2.    Mengetahui konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah.

 

 

5.        Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini semoga memberi sumbangsih baik dalam aspek keilmuan maupun dalam aspek terapan praktis.

1.      Aspek keilmuan

a.      Sebagai sumbangsih pemikiran dan upanya memperkaya ilmu tasawuf dalam konsep mahabbah.

b.      Semoga apa yang jadi penelitian ini bermamfaat bagi kegiatan dalam rangka pengembangan ilmu tasawuf bagi siapa saja yang membacanya dan bisa menjadikan sebuah rujukan atau penelitian

Semoga bermamfaat untuk melatih diri dalam melakukan penelitian dan memperluas wawasan pengetahuan yang berhubungan dengan tasawuf.

2.      Aspek penerapan praktis

a.      Ikut serta membumingkan pemikiran ulama‟tasawuf tentang mahabbah.

b.      Memberi pengertian terhadap masyarakat awam tentang konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah.

6.    Telaah ke Pustakaanan

Sejauh ini peneliti masih belum menemukan kajian tentang konsep Ibn Athaillah tentang mahabbah. Adapun terkait dengan konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah seperti, mahabbah Allah „Indah Tafsir Ibn al-Qayyim, dalam skripsinya Siti Nur Azizah Jurusan Tafsir Hadis IAIN Sunan Ampel Surabaya, (2012). Bagaimana pendapat Imam Ibn Qayyim tentang mahabbah kepada Allah dan bagaimana tanda-tanda, susunan mahabbah kepada Allah dalam pandangan Ibn Qayyim. Dalam penjelasan yang saya tangkap secara garis besar tentang mahabbah di dalam skripsi tersebut bahwa mahabbah yaitu condongnya jiwa kepada sesuatu yang dia condongi untuk kesempurnaan kemudian dia mengajak mendekatkan kepadanya.

Konsep mahabbah menurut al-Ghazali dalam kitab Ihya‟ „Ulum al din, dalam Tesis Abd Malik Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, (2012). Masalah yang diteliti dalam Tesis Abd Malik yaitu: pertama, sebagai konsep mahabbah menurut para tokoh sufi dan kedua, bagaimana konsep mahabbah Imam al-Ghazali. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa mahabbah menurut Imam al-Ghazali adalah tujuan puncak dari seluruh maqam dan kedudukan yang paling tinggi, karena setelah diraihnya mahabbah, tidak ada maqam lain kecuali buah dari mahabbah itu seperti maqam Shauq (kerinduan)„Uns (kemesraan), rida, dan lain-lain.

C . Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari dokumen atau buku-buku yang membahas tentang fokus tersebut. Sehingga penelitian ini juga dapat disebut dengan penelitian pustaka (Library reseach)

1. Jenis Penelitian

a.    Objek material

          Objek material dalam penelitian ini adalah menuangkan pikiran Ibn „Atha‟illah tentang konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah melalui data perpustakaan baik dalam karya asli Ibn Athaillah atau pun melalui buku-buku yang masih ada kaitannya. Disamping itu, penelitian ini juga menggunakan data yang berkaitan dengan tokoh seperti biografi, aspek pemikirannya dalam dunia tasawuf, dan lebih penting yaitu mengenai konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah.

b.    Objek formal

          Objek formal dalam penelitian ini adalah menggunakan konsep Max Scheler tentang “Ordo Amoris” (Pengaturan kecintaan). Artinya, memandang konsep mahabbah Ibn „Atha‟illah melalui sudut pandang Max Scheler. Menurut pandangan Max Scheler tentang kodrat manusia ada tiga suasana yaitu sebagai berikut:

2.   Teknis Pengumpulan Data dan Analisis Data

a.  Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penetilian ini, peneliti akan menghimpun data-data yang meliputi, munculnya konsep Ibn „Atha‟illah. Dalam hal ini dibutuhkan untuk menjelaskan konsep Ibn Athaillah tentang mahabbah. Untuk penggalian lebih dalam mengenai konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah baik pemikiran tokoh tasawuf terdahulu dan pada zamannya serta pengaruhnya dan setelahnya. Disamping itu, latar belakang hidup, pendidikan, dan konsep mahabbah yang dibangunnya untuk melakukan mahabbah kepada Allah.

Selanjutnya, data-data yang diperoleh di edit ulang, untuk melihat kelengkapannya dengan melakukan pengurangan dan penambahan data yang diselingi dengan klasifikasi untuk memperoleh sistematika pembahasan dan terdiskripsikan dengan rapi. Terkait dengan penggalian data, penulis menggunakan teknik library. Adapun teknik library di sini adalah pengumpulan atau pencarian data yang terdapat pada buku-buku yang berkaitan dengan konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah.

 

 

a.    Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan satu kerangka analisis mahabbah sebagai bentuk mendekatkan kepada Tuhan. Maksudnya diperlukan kajian kritis terhadap konsep Ibn Athaillah tentang mahabbah. Metode ini didukung dengan penggunaan metode deskriptif-historis. Dengan proses pencarian data dan buku-buku yang sudah ada yang menggunakan ketepatan interpretasi. Deskripsi ini

a.    Suasana indera: yang dimaksud suasana ini seperti enak, pahit, dan sebagainya. Suasana ini mempunyai tempat yang tertentu.

b.    Suasana vital: mempunyai dua cabang: ialah kehidupan jasmani, seperti lelah, segar-bugar. Semua itu tidak terbatas tempatnya, melainkan meliputi seluruh tubuh.

c.    Suasana rohani atau kejiwaan: seperti jika orang mengatakan: aku sedih, aku bingung. Suasana ini tidak membentang, tidak organis. Golongan yang ketiga ini menurut pandangan Max Scheler adalah rasa atau perasaan rohani tadi, misalnya bahagia, damai. Disini badan tidak tersangkut. Orang yang sedang menderita badannya, bisa juga bahagia. Disini yang merasa: ialah persona.[12]

Dalam teori Max Scheler tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa dengan menggunakan pada poin ketiga (suasana rohani atau kejiwaan) berkaitan dengan konsep Ibn Athaillah tentang mahabbah yakni kebersihan jiwa dalam mencapai maqam mahabbah.

 

 

3.    Data dan Sumber Data

a.      Data Primer

Adapun sumber data primer yaitu dari literatur-literatur utama dalam penelitian ini yang membahas tentang mahabbah Ibn Athaillah dalam karya aslinya. Diantaranya:

1.    Ibn Athaillah, Terjemahan al-Hikam ”Kajian Hikmah-Hikmah Ilmu, Iman & Amal Tauhid, Toriqot & Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 2011), 269.

2.    Ibn Athaillah, Mengapa Harus Berserah, Cet 1, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), 43.

3.    Taj al „Arus al Chawi Litahdzib al nufus (Penyucian Jiwa)

4.    Lathaif al Minan (Rahasia yang Maha Indah) b. b. Data sekunder

Adapun sumber data skunder peneliti merujuk pada; buku-buku, majalah, situs internet yang tentunya berkaitan dengan pokok penelitian dalam skripsi ini. Antara lain:

1.      Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam,(jakarta:PT Bulan Bintang, 2010).

2.      Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat“Dimensi Esoteris Ajaran

Islam, (bandung:PT Remaja Rosdakarya Offset, 2012).

3. Evolusi Jiwa Manusia menuju mahabbah dan ma‟rifat.

menjelaskan suatu fakta sebagaimana adanya,[13] dalam hal ini berupa konsep Ibn „Atha‟illah, sedangkan kajian historis digunakan untuk mendapat keterangan yang mendalam tentang pengertian mahabbah dalam pandangan ulama‟ tasawuf dan mengetahui konsep Ibn Athaillah yang sudah ada. Kajian historis yang dimaksud di sini yaitu fokus pada kehidupan Ibn „Atha‟illah dan latar belakangya adanya konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah yang mempengaruhi pemikirannya.

D . Sistematika Pembahasan

Adapun isi pokok pembahasan dalam penelitian ini disusun menjadi lima bab, yaitu:

·        BAB I, Pendahuluan, yang berisi uraian yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, mamfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.

·        BAB II, Menjelaskan biografi Ibn „Atha‟illah; meliputi riwayat hidup, latar belakang pemikiran, karya-karya Ibn „Atha‟illah.

·        BAB III Dalam bab ini akan menjelaskan tentang Konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah.

·        BAB IV Analisis konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah dalam sudut pandang teori Max Scheler.

·        BAB V Penutup  yang didalamnya berisi kesimpulan  seluruh

penulisan yang merupakan  jawaban dari permasalahan yang disajikan dan saran-saran.

 



[1] Jamil Shaliba, al-Mu‟jam al-Falsafy, jilid 11, (Mesir: Dar al-Kitab, 1978), 439.

 

[2] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat“Dimensi Esoteris Ajaran Islam, (bandung:PT Remaja Rosdakarya Offset, 2012), III.

 

[3] Ibn Athaillah, Terjemahan al-Hikam ”Kajian Hikmah-Hikmah Ilmu, Iman & Amal Tauhid, Toriqot & Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 2011), 269.

[4]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam,(jakarta:PT Bulan Bintang, 2010),55.

[5] Al-Qur‟an dan Terjemah, Q.S.Ali Imran, 3:31

 

[6] Ebook, Tafsir ibnu Katsir jilid 2,(Jakarta:Pustaka Imam As-syafi‟i,2003), 53-54

[7] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme...,55.

 

[8] Margaret Smith, Rabi‟ah: Pergulatan Spritual Perempuan, ( Surabaya, Risalah Gusti, 1997), 107

[9] Harun Nasution, Falsafa dan Mistisisme...,56.

 

[10] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat...,60-61.

[11] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat.Hal 61

[12] Drijarkara, Percikan Filsafat, Cet 1, (Jakarta: PT Pembangunan Jakarta 1963), 145.

[13] Anton Bakker dan A. Charis Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat, (Jogjakarta: Kanisius, 1992), 88.

 

BAHASA AGAMA

BAHASA AGAMA

BAHASA AGAMA

Pengertian secara “Bahasa” adalah bunyi yang di hasilkan oleh alat ucap manusia serta memiliki arti. “Bahasa” memiliki peranan penting dalam melakukan komunikasi antar sesama manusia. Tanpa bahasa manusia akan sulit untuk menyampaikan maksud dan tujuan dalam berinteraksi. Bahasa bukanlah dimaksud dengan bahasa lisan saja tapi juga bahasa tulis, bahasa tubuh, isyarat dan mungkin ada lagi bahasa selain yang disebutkan. “Bahasa’ memiliki cakupan makna dan telah melahirkan teori multi dimensi dan bukan hanya sekedar ucapan (parole), tetapi di dalamnya terkandung perasaan, emosi, tata pikir bahkan juga muatan adat istiadat”. (Qomaruddin Hidayat, Bahasa Agama, hal. 73).
 Sedangkan “Agama” berarti mengabdikan diri. Maksudnya, seseorang akan memasrahkan semua urusan baik pribadi maupun orang disekitarnya kepada aturan-aturan agama. Dan orang  yang faham agama tidak hanya puas dengan pengetahuan agama akan tetapi juga perlu untuk membiasakan diri dengan hidup secara agama atau dengan kata lain mempraktekkan apa yang dia fahami dari agama tersebut. Ada ungkapan “the religion is the way of being”. Yaitu agama selalu memberikan pengaruh terhadap setiap tindakan manusia meskipun konsep agama dan intensitas keberagamaan seseorang akan berbeda-beda. Karena pada dasarnya, inti dari ajaran semua agama adalah kebaikan dan kebenaran yang hakiki.
Oleh sebab itulah, untuk memahami defenisi “bahasa agama”, ada dua macam pendekatan; sekaligus memahami ungkapan-ungkapan keagamaan. (Qomaruddin Hidayat, Bahasa Agama, hal. 75-76).
1. Theo-oriented : yaitu kalam ilahi yang kemudian terabadikan dalam kitab suci, penekanannya adalah Tuhan dan Kalam, sehingga dasarnya adalah Kitab Suci.
2. Antropo-oriented : yaitu wacana keagamaan yang dilakukan oleh umat beragama maupun sarjana ahli agama, meskipun tidak selalu menunjuk serta menggunakan ungkapan-ungkapan kitab suci.
Pendekatan pertama pada akhirnya akan juga mengarah pada wacana keagamaan sehingga mencakup pada pengertian yang kedua, karena semua kitab suci pada urutannya melahirkan penafsiran baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Adapun pengertian pendekatan yang kedua lebih cenderung untuk melepaskan kitab suci, bahkan mengarah pada narasi filsafat dan ilmiah. Yaitu berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi atau dengan kata lain mengikuti perkembangan zaman 
Karakteristik “Bahasa Agama” dan Kategorinya
Bahasa agama memiliki karakteristik, hal ini untuk mengetahui batasan antara bahasa agama sebagai narasi dan teori ilmiah dan narasi keagamaan sebagai fenomena ekspresi keberagamaan seseorang, yaitu :
1. Metafisis, yaitu berpusat pada Tuhan dan kehidupan baru dibalik kematian dunia. (yang menjadi obyek Bahasa Agamanya adalah dari sisi pendekatan theo-oriented).
2. Sebagai implikasi dari karakter yang pertama, yaitu format dan materi pokok narasi keagamaan yaitu menggunakan kitab suci.
3. Bahasa agama mencakup ungkapan dan ekspresi keagamaan secara pribadi maupun kelompok, meskipun ungkapannya menggunakan bahasa ibu. 
Selain bahasa agama memiliki karakteristik sebagai ke-khas-annya, bahasa agama juga dapat dikategorisasikan, hal ini untuk memberi kemudahan pemahaman dalam proses mempelajari dan memahami (mengerti) kebahasaannya, apa maunya, yaitu ada dua kategori bahasa agama, yaitu:
1. Preskriptif, yaitu struktur makna yang dikandung selalu bersifat imperative (bersifat memerintah atau komando) dan persuasive (rayuan secara harus supaya menjadi yakin), yaitu menghendaki pembaca untuk mengikuti pesan pengarang sebagaimana terformulasikan dalam teks. Dalam ungkapan-ungkapan preskriptif posisi pengarang menjadi pusat putaran. Sementara pembaca diminta mengikuti ajakan dan sarannya.
2. Deskriptif, yaitu sifatnya lebih demokratis, pembaca diajak untuk berdiskusi atas persoalan-persoalan yang ada -penulisan ilmiyah- terutama yang berkaitan dengan sejarah, dituntut secara deskriptif sehingga memungkinkan pembaca ikut menafsirkan dan mengembangkan lebih jauh.
Dalam kitab suci perintah Tuhan kadangkala dituangkan dalam bentuk narasi deskriptif serta ungkapan-ungkapan metaforis. Dikalangan teolog islam bahkan terdapat pandangan yang cukup kuat bahwa salah satu kekuatan al-Qur`an justru terletak pada gaya bahasanya. Dalam kritik sastra, gaya serta keindahan bahasa al-Qur`an tidak bisa dikategorikan sebagai prosa maupun puisi, karena bahasa al-Qur`an sesungguhnya lebih menekankan makna yang sanggup menggugah kesadaran diri, disini perlu diberi penekanan, gaya bahasa hanyalah salah satu aspek saja. Sedangkan aspek yang paling fundamental dari al-Qur`an adalah pada kejelasan dan ketegasan maknanya, terutama menyangkut doktrin tauhid dan hukum.
Macam-macam Bahasa Agama
Bahasa Metafisik
Bahasa metafisik digunakan untuk menjelaskan objek yang bersifat metafisikal, seperti tentang Tuhan. Hal ini perlu digunakan karena manusia pada umumnya berpikir dan berbahasa pada lingkaran empiris dan inderawi.
Bahasa Kitab Suci
Dalam Bahasa kitab suci, manusia hanya mampu memhamami tentang Tuhan sebagai ungkapan-ungkapan yang bersifat analogis dengan alam pikiran dan dunia empiris manusia karena pernyataan-pernyataan yang berkaitan tentang Tuhan belum bisa di verifikasikan secara Objektif dan empiris.
Bahasa Ritual Keagamaan
Bahasa Ritual Keagamaan adalah Bahasa yang berupa gerakan tubuh, isyarat, atau sikap tubuh. Tidak selamanya Bahasa harus berupa ucapan karena perlu adanya media lain untuk menyertainya. Dalam setiap agama akan ditemukan beberapa ritual-ritual keagamaan yang berupa gerakan tubuh. Semisal, dalam Islam adanya Sholat dan haji, begitupun juga di agama yang lain.

Our Blog

55 Cups
Average weekly coffee drank
9000 Lines
Average weekly lines of code
400 Customers
Average yearly happy clients

Our Team

Waone Kiting
CEO-Creator
Muhammad Ilham
Creative writing
Hisbun Nasor
Creative writing
Aprianto
Content reator

Contact

Talk to us

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Dolores iusto fugit esse soluta quae debitis quibusdam harum voluptatem, maxime, aliquam sequi. Tempora ipsum magni unde velit corporis fuga, necessitatibus blanditiis.

Address:

9983 City name, Street name, 232 Apartment C

Work Time:

Monday - Friday from 9am to 5pm

Phone:

595 12 34 567